Sunday, February 25, 2018

Kedai Kopi Yang Beda Tapi Sama

Halo lagi!
Kali ini saya mau mendongeng beberapa obrolan dari sobat Kopi Yuk! yang sudah pernah mampir. Penasaran obrolan apa saja yang terjadi di kedai mungil ini? Simak ceritanya berikut ini (Gimana? sudah bikin penasaran belum paragraf awal ini? Hehe.)

Apa sih yang membedakan kedai mungil ini dengan kedai lainnya? Agak sulit juga pertanyaan itu dijawab. Dari obrolan dan celotehan sobat Kopi Yuk! yang singgah, mereka bingung. Sama seperti saya yang sedang menulis ini, kira-kira apa yang akan saya tulis pada kalimat berikutnya?
"Friendly Banget!"
Ada salah satu sobat Kopi Yuk! yang berkomentar lewat akun Instagram seperti itu. Alasannya begini, walaupun yang datang merupakan teman lama atau pelanggan tetap, kami selalu menyapa dan setidaknya bertanya "Halo! Dari mana?"
"Jangan takut kalau datang hanya sendiri. Pasti ditemani baristanya."
 Menurut pendapat pribadi, sebagai tuan rumah, saya wajib melayani tamu yang datang apa lagi jika datang sendiri. Pasti kami temani dengan senang hati. Saya sendiri sangat senang kalau yang datang adalah orang baru. Saya dan Bing selalu mendongeng tentang alasan kenapa kami buka kedai Kopi Yuk! Harapan kami sederhana, mereka mau ikut berbagi cerita yang mereka miliki kepada kami. Kadang banyak juga cerita-cerita yang menarik untuk dibagikan lewat akun Instagram @yukkopiyuk (Sudah follow belum?).

"Untung aku dateng sini ya."
Pernah ada juga solo traveler yang tiba-tiba datang ke kedai kami. Singkat cerita begini. H-1 partner travel-nya membatalkan karena ada sebuah halangan. Kami ngobrol banyak hal dan ternyata sobat Kopi Yuk! yang satu ini tidak punya rencana perjalanan. Kami menyarankan bermacam-macam tempat untuk dikunjungi di Kota Gudeg ini. Melihat dari air mukanya, dia senang sekali menerima saran dari kami.

Lagi-lagi saya teringat ada adegan dalam komik berjudul Barista: "Jika kamu datang ke sebuah kota dan bingung hendak kemana, datanglah ke kedai kopi dan bertanyalah kepada baristanya."

Tuesday, February 20, 2018

Cari Angin: Betmen, Belang, Macan dan Carut Marut UU MD3

Selain menyeduh kopi, akhir-akhir ini saya tertarik mengamati penghuni Tamkul yang 'lain'. Bukan, bukan demit apalagi jin. Melainkan makhluk-makhluk kecil yang kerap berseliweran di depan kedai kami. Tuyul? Bukan. 

Mereka adalah Betmen, Belang dan Macan. Yoi, mereka itu kucing. Kucing Tamkul. Penghuni yang lebih dulu ada sebelum kami buka, kami cuma pendatang (tapi tidak merebut lahan hehe...). Usut punya usut mereka bertiga ini ada yang ngopeni ('merawat' dalam bahasa Jawa). Yaitu seorang bapak penyewa lapak 'recording studio' di utara kedai kami. Woh? Emang ada yang rekaman? Ada lha, siapa menyangka, Tamkul ini bisa terbilang 'lengkap' (Baca: Palu Gada).

Betmen. Paling malu kalau difoto. Lari melulu
Betmen. Padahal dia betina. Dinamai oleh salah satu Sobat Kopi Yuk! Paiman, Pamian atau Maiman? Ya, kira-kira begitulah. Dipanggil begitu karena bentuk wajah dan warna si kucing mirip tokoh fiksi DC, Batman. Lagi-lagi, padahal dia betina.

Baru-baru ini dia melahirkan. Saya tahu, karena sempat melihat anak-anaknya seliweran bermain di utara kedai kami. Dan tentu saja, dari warnanya, dominan hitam, sementara warna putih ada di bagian bawah perut. Siapa bapaknya? Si Macan. Untuk bagian ini saya jelaskan kemudian.

Betmen kerap kali menyambangi kami. Yah, untuk apa lagi kalau bukan berharap kebaikan sobat Kopi Yuk agar diberi tulang, daging ayam atau barangkali remahan chips. Tapi semingguan ini, Betmen jarang terlihat. Ah, barangkali sedang mengurus anak-anaknya. Kasih ibu sepanjang masa.

Belang paling sering ke Kopi Yuk!
Belang. Sama seperti Betmen, dia betina. Lagi-lagi dinamai oleh Paiman, Pamian atau Maiman? Ya begitulah. Kalau ini memang karena yang bersangkutan punya tiga warna. Dibandingkan Betmen, si Belang ini frekuensinya paling sering seliweran di depan kedai kami. Dia juga sering nongkrong di kedai sebelah.

Sebulan lalu, si Belang kerap mengajak empat anaknya berkunjung ke kedai kami. Tiga anaknya takut-takut jika disentuh oleh kami atau sobat Kopi Yuk! Mereka lucu-lucu. Selucu mbak-mbak gemezz. Sementara yang satunya, suka sekali dielus-elus. Nah, cuma akhir-akhir ini kami tidak pernah lagi melihat anak-anak si belang berseliweran. Mungkin sudah bertualang atau disekolahkan.

Nah, balik lagi ke pertanyaan yang sama. Siapa sih bapak dari anak-anak si Belang? Si Macan. Macan lagi?! Poligami ini namanya.

Macan, si manja tapi gahar!
Macan. Dialah satu-satunya pejantan di kalangan kucing Tamkul. Udah ketahuan kan alasannya, kenapa dia poligami. Dijuluki begitu, karena, lagi-lagi Paiman, Pamian atau Maiman yang menamai. Torsonya (tubuh-red) mirip singa atau raja hutan. Otot-otot di sekitar pangkal bahu dan kakinya memperlihatkan itu.

Saya paling ingat kucing satu ini. Karena dia telah 'memakan' satu korban. Disainer interior kami, Misty 😁 kena cakar atau tergigit tangannya sampai berdarah. Maksud hati ingin bermain-main, eh si Macan waktu itu tampaknya sedang tidak mood.

Dari ketiga kucing ini, suara Macan paling keras ketika mengeong. Dia mengeong ketika sedang mencari makan. Pernah suatu waktu saya melihat Macan bertengkar dengan si Betmen. Mengeongnya lebih mirip auman. Barangkali urusan rumah tangga atau dia ketahuan selingkuh dengan si Belang. Entahlah, saya hanya menebak. Jika diteruskan saya bisa beralih, dari penyeduh kopi menjadi pengamat fauna.

Ya setidaknya kehadiran mereka, menghibur saya. Tapi suatu waktu pernah kesal juga. Macan berhasil menggondol nasi ayam presto, padahal belum saya tuntaskan. Saat itu, sesi makan siang harus saya beri jeda karena harus melayani sobat Kopi Yuk.

Sedangkan si Belang pernah berhasil menangkap anak tikus dan membawanya ke depan kedai (Hmm...adegan ini tampak saya kenal di Godfather). Analisis saya, ada kemungkinan si Belang tidak suka dengan kami. Persis adegan 'hadiah' kepala kuda di ranjang Jack Woltz dalam film Godfather. Mmm...setidaknya si Belang ini bermanfaat untuk mengejar tikus-tikus Tamkul yang kerap menyelinap masuk ke kedai kami.

Butuh banyak si 'Belang' untuk menangkap 'Tikus'

Persoalan tikus-tikus biang kerok ini barangkali tidak serumit oknum 'tikus' yang menjabat sebagai anggota dewan. Ya, baru-baru ini, beberapa minggu terakhir, pengesahan revisi UU MD3 (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD) ramai diperbincangkan.


Revisi dilakukan terhadap beberapa pasal. Di antaranya yang ramai didengungkan di dunia maya, soal pengkritik DPR bisa dipenjara (Pasal 122 Huruf K), pemanggilan paksa DPR dibantu pihak kepolisian (Pasal 73 ayat 4), anggota DPR yang tersangkut kasus harus mendapat persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan dan Presiden sebelum diproses secara hukum (Pasal 245). Selain tiga di atas, beberapa pasal lainnya berkaitan penambahan jumlah pimpinan MPR, DPR, DPD dan evaluasi Perda oleh DPD.

Pengamat politik menilai pengesahan UU ini kontraproduktif dengan UUD 1945, yaitu soal prinsip keterwakilan. "Rakyat masa' harus berhadapan dengan institusi yang dia pilih sendiri yaitu DPR karena adanya interaksi. Entah interaksi apa sehingga harus berhadapan dengan institusi besar seperti DPR," ujar ahli hukum tata negara, Irman Putra mengaitkan dengan pasal pengkritik DPR yang bisa dipidanakan.

Hingga kini persoalan mengenai peraturan baru tersebut diupayakan ke Mahkamah Konstitusi. Di internet muncul petisi soal gugatan tersebut. Jika Sobat Kopi Yuk! ingin berpartisipasi, bisa klik di sini. Saya sendiri sudah menandatangani.

Jadi saya tidak bisa membayangkan nantinya, ketika muncul banyak meme di internet yang mengkritik kinerja anggota dewan, lalu para kreatornya dipidanakan. Represi a la Orde Baru datang lagi.

Tidak bisa dibayangkan ketika anggota dewan mempidanakan pemilihnya sendiri. Jika ini persoalan bahasa pasal yang kurang tepat, maka perbaikilah agar tidak menimbulkan kerancuan. Hal ini berlaku untuk pasal lain.

Kita butuh banyak si 'Belang' untuk selalu mengawasi gerak-gerik dan menangkap oknum 'tikus' yang gemar menyelinap dan mencuri.

Monday, February 19, 2018

Halo Bulan ke-4

Halo lagi!
Kali ini saya mau mendongeng tentang persiapan bulan ke-4 kedai Kopi Yuk! Penasaran? Sambil baca pelan-pelan aja ya, sambil diresapi, siapa tau ada makna mendalam yang bisa dipetik kalau memang ranum.

Gaji sudah diterima, sudah dipilah-pilah untuk beberapa persiapan renovasi kedai. Menjalani bulan ke-4 ini saya dan Bing mau renovasi kedai. Ceritanya kedai yang mulai menyeduh di musim hujan ini memiliki beberapa kekurangan, terutama dalam hal kenyamanan, misalnya beberapa titik bocor dan 'pelabuhan dadakan' disebabkan tidak ada pengairan yang "oke" saat hujan deras datang.

Program Go-Jek sampai saat ini belum ada jawaban setelah semua syarat kami penuhi. Mudah-mudahan dalam bulan ke-4 ini sudah ada setitik harapan. Setitik saja sudah cukup, karena yang berlebihan itu tidaklah baik.

Menu tamu! Udah penasaran belum? mungkin kamu yang belum follow IG kedai kami, kamu bisa follow dulu @yukkopiyuk. Sabtu kemarin kami baru saja mengadakan survei kecil-kecilan di Instagram tentang mana yang enak dicampur kopi dan susu? Madu atau Sirup? Jadi sudah bisa menerka-nerka menu apa yang akan muncul di bulan Februari?

Sharing table. Ini konsep yang oke menurut saya pribadi. Tapi mungkin akan dibahas berikutnya ya.

Wednesday, February 14, 2018

Kenapa Kopi Yuk Buka di Jogja?

"Mungkin semesta yang berkehendak"

Kalimat yang ciamik kalo menurut saya. Kenapa semesta? Ini semua gara-gara si Bing yang ngompor-ngompori kalau segala sesuatunya itu adalah kehendak alam beserta terutama dengan rasi bintang yang dia baca belakangan ini. Oke! Paragraf selanjutanya langsung masuk ke topik pembicaraan yang sebenarnya.

Saya mau buka-bukaan tentang ide awal sebelum kami memutuskan nama kedai mungil kami dengan nama Kopi Yuk! Jadi, diawali dari kata rencana. Sebelum bertemu si Bing. Saya sudah membuat proposal kedai kopi yang entah bisa terlaksana atau tidak. Saya amat ingin sekali memperkenalkan kopi kepada anak-anak muda terutama mahasiswa dengan membangun kedai kopi di dalam komplek kampus.

Kampus yang saya pilih pertama adalah tempat yang telah meluluskan saya dari status mahasiswa, yaitu FISIP Atma Jaya Yogyakarta. Saya memilih kampus tersebut karena memiliki ke-guyub-an (keakraban) yang unik. Kampus yang setelah saya tinggalkan dan baru memiliki public space berupa kantin tersebut jadi semakin meriah dengan kehadiran kedai kopi (saya membatin).

Proposal pun segera dicetak setelah saya dan Bing sepakat. Dan berangkatlah saya menuju kampus di Jalan Babarsari itu. Pihak kampus memberitahukan akan ada surat pemanggilan pada awal November 2017 (Pada waktu itu masih bulan Juni).

Sambil menunggu kabar salah seorang teman kami merekomendasikan Taman Kuliner Condongcatur sebagai alternatif untuk membuka kedai kopi.
"Sungguh di luar konsep yang saya bayangkan," pikir saya.
Dengan berbagai pertimbangan, tidak ada salahnya ketika Taman Kuliner Condongcatur hanya jadi alternatif. Sekian lama menunggu justru proposal awal untuk membuka kedai kopi di dalam kampus terpatahkan dengan adanya kabar baik dari pihak Taman Kuliner Condongcatur yang lebih "cepat" (bukan kata sebenarnya, hanya lebih cepat saja.) memproses proposal yang kami ajukan.

Bagaimana dengan Universitas Atma Jaya Yogyakarta? Surat akhirnya datang dua minggu setelah kami mulai menyeduh di Taman Kuliner Condongcatur. Surat yang datang pun bukan surat undangan tapi surat penolakan.

Ada positifnya juga ketika rencana pertama malah gagal. Jika buka di kampus maka saya pun harus rela untuk libur (tidak jualan) dengan jangka waktu yang cukup lama, karena mengikuti kegiatan aktif di kampus. Jadi, kalau kampus libur semester mau tidak mau saya juga akan libur.

Dampak positifnya ketika kami menyeduh di Taman Kuliner Condongcatur adalah banyak orang yang bisa menikmati kopi seduhan kami terutama aspek mengobrolnya. Kami juga banyak mempertemukan orang-orang yang awalnya tidak mengenal sampai bisa bekerja sama dalam sebuah proyek.

Cerita lengkapnya tentang mempertemukan orang-orang tersebut di tulisan saya selanjutnya ya. Sekali lagi semua ini karena semesta.

Sunday, February 11, 2018

Mengenal Konsep Slow Bar: Tunggu Ya Agak Lama Nih...


Seringkali saya mendengar beberapa celetukan sobat Kopi Yuk! soal (tentunya dengan nada bercanda) pelayanan 'kurang cepat' dari kami berdua. "Ah, lama nih," atau, "kopiku giliran ke berapa ya?" atau, "masih lama gak? Mau makan dulu nih," adalah kalimat-kalimat yang sering saya dengar (tentunya, sekali lagi, dengan nada bercanda 😀 ). 

Disadari atau tidak, kita hidup dalam zaman di mana 'kecepatan' sudah menjadi bagian dari lifestyle. Buat kelas pekerja, kata-kata seperti deadline, target, key performance indicator ibarat 'teman akrab' yang membuat segala aktivitas kerja menjadi dalam tekanan dan terburu-buru. Pun, di industri resto dan F&B, tentu saja kita akrab dengan istilah fast food, layanan cepat saji, ready to drink, ready to eat.

Penyebabnya adalah budaya kompetisi. Gampangannya, jika saya tidak lebih cepat dari yang lain, maka saya akan kalah. Barangkali inilah versi modern dari survival of the fittest Charles Darwin 😜.

Arti kecepatan di sini tidak hanya dialami kelas pekerja, melainkan sudah masuk ke semua lini kehidupan. Bahkan, menurut Yasraf Amir Piliang, sudah mempengaruhi cara berkomunikasi antarmanusia. Pemerhati masyarakat posmo tersebut lebih jauh mengatakan, karena tuntutan perubahan dan pertukaran tinggi itulah praktik berkomunikasi pun cenderung mengarah ke pedangkalan bahasa, kegalauan dan ketidakpastian.2 Secara singkat bisa dipahami sebagai: Kita didisain untuk tidak sabar dan gelisah.

Nah, kali ini saya tidak mau terlalu jauh membahas masyarakat posmo dan kecepatan. Langsung saja melompat ke bahasan utamanya.

Slow Bar? Apaan Sih??
Tak sengaja saya melihat kata ini, slow bar dari sebuah akun instagram milik beberapa kedai kopi di Yogyakarta dan di luar negeri. Mulanya saya jelas tak mengenal frasa baru ini, tapi barangkali ada hubungannya dengan jenis bisnis kami berdua. 

Saya coba telusuri web dan menemukan ini:
"the slow bar is a place to explore our passion for coffee and deepen our sense of discovery. We have set out to make coffee tasting an intriguing and dignified experience.”1
Lebih jauh artikel tersebut menjelaskan, secara teknis, penyajian satu cup kopi slow bar memakan waktu sekitar lima menit (bisa lebih bisa kurang di beberapa kafe). Marty Roe, pemilik perusahaan distribusi dan konsultan kopi About The Coffee di Kansas, USA menjelaskan, "Slow Bar melambatkan semuanya, dan ini merupakan kesempatan untuk menumbuhkan dan membangun relasi (antara barista dan konsumen)." 

Jadi, jika takaran waktunya, anggap saja adalah lima menit, kesempatan tersebut bisa digunakan untuk membangun komunikasi dengan konsumen. Ini adalah tantangan bagi barista. Karena di sisi yang lain mereka harus tetap fokus terhadap kopi kreasinya. 

Terkesan pembenaran?

Bisa jadi tidak, bisa jadi ya. Slow Bar sejatinya berangkat dari gerakan third wave coffee yang mengusung nilai 'Kualitas lebih penting dari Kuantitas'. Artinya, kualitas proses pembuatan kopi dijaga dan relasi dengan konsumennya dibangun. Tentu saja hal ini berkebalikan dengan the first wave yang mengutamakan kuantitas produksi ketimbang kualitas (baca: kopi sachet). Well, barangkali di sini kamu mulai berpikir: mau minum kopi kok repot? Bukan repot sih, ini lebih karena kamu itu istimewa. Beneran sumpah 😊

Menurut saya, tiap pengunjung kedai adalah orang istimewa. Maka saya dan Wak berusaha mengkreasikan kopi senikmat mungkin. Lebih diistimewakan lagi jika ada permintaan khusus seperti: "Mas, aku mau agak pahit," "Mas, jangan terlalu panas ya," dan seterusnya.

Sebelum menutup tulisan ini, saya coba kembali lagi bahas kultur masyarakat saat ini dalam pengertian Baudrillard. Dalam essai dia tentang "The Illusion of The End" (Stanford University Press, 1994), "Akselerasi modernitas, teknologi, peristiwa dan media, (bahkan) seluruh aktivitas pertukaran -ekonomi, politik, seks- telah mendorong kita menuju 'escape velocity' ..." 3  Artinya, kita tetap butuh 'ruang kabur sejenak' dari rutinitas. Dan, barangkali kehadiran slow bar kami dapat memenuhi kebutuhan itu.

Nah, ngopi santai dulu lur... 😜

Monday, February 5, 2018

Terima Kasih, Matur Nuwun


Senang sekali saya bisa menulis cerita kali ini. Penuh dengan rasa senang, riang, bahagia, gembira, dan juga terharu. Penasaran?

Oke! Jadi bulan ke-3 di kedai banyak sekali kejutan dari para sobat Kopi Yuk! Mulai dari pelanggan baru dan lama tidak mau ketinggalan. Mulai dari cerita yang menginspirasi, terutama karena kami banyak sekali mendapatkan oleh-oleh berupa kopi dari bermacam-macam daerah: Temanggung, Blitar, Gayo, Flores, Kerinci, Medan, Jember.

Semuanya sudah kami coba dan punya karakter rasa berbeda. Yang paling berkesan adalah Kopi Kerinci dari salah satu petani kopi, teman si Bing. Pak Wahid namanya. Kopi Yuk! mendapatkan kehormatan untuk mencicipi kopi Luak Kerinci produksi kebun kopi beliau. Salah satu sobat Kopi Yuk! Beni, yang juga memiliki kedai kopi di Kaliurang sudah ikut mencoba. Saking enaknya kopi itu dia habiskan sendiri.

Walau belum semua kopi yang kami punya dinikmati semua, komentar sobat Kopi Yuk! yang sudah mencoba ternyata mempunyai pendapat beragam. Kebanyakan dari mereka mulai bisa merasakan keunikan rasa kopi.

Harapan kami, semakin banyak orang yang bisa menikmati kopi seduhan kedai mungil kami, dan kami akan berusaha untuk memberikan seduhan terbaik pada setiap orang. Amin.

Kok lebih mirip doa ya artikel kali ini. Gak apa-apa semua ucapan dan tulisa itu katanya sebuah doa juga.


Sekali lagi kami tidak bosan-bosan mengucapkan banyak terima kasih kepada semua bantuan dan komentar-komentar yang membangun untuk kemajuan Kopi Yuk!

Sunday, February 4, 2018

Cari Angin: Mencermati Tren Coworking Space di Kafe-Kafe Jogja


Beberapa waktu lalu, sobat Kopi Yuk! Tembel dan Oges terlibat diskusi seru di kedai soal 'Coworking Space'. Saya pun tertarik dan ikut nimbrung.

Barangkali buat beberapa rekan di Jogja, istilah tersebut masih asing. Namun di ibukota, frasa ini sudah terbilang umum. Apalagi coworking space kerap diidentikkan dengan perusahaan startup. 

Kalau saya tak salah ingat, perbincangan dua hari lalu di kedai menyimpulkan bahwa semestinya di coworking space, "pemilik tempat juga bisa berinteraksi dengan penggunanya," ujar Oges.

"Misalkan mengoneksikan kebutuhan pengunjungnya yang memiliki keahlian tertentu dengan kenalan si pemilik coworking space yang juga mempunyai kebutuhan sama," tambah dia. Singkatnya, fungsi tempat bertajuk coworking space adalah menghubungkan kebutuhan satu orang dengan yang lain (kerja, keahlian, calon klien, pembeli, penjual, dll).


Apa itu coworking space?
Sebelum terlalu jauh membahas, ada baiknya kita telusuri dulu arti kata coworking space.

'Ruang Bersama' pada dasarnya merupakan tempat kerja untuk melakukan pekerjaan/proyek tertentu. Lha terus apa bedanya dengan ruangan kantor? Tidak seperti ruangan pada kantor konvensional, di sini tidak ada sekat atau melakukan pekerjaan dalam cubicle sehingga memungkinkan semua orang untuk berinteraksi satu sama lain.

Selain itu dari segi biaya sewa, jelas coworking space lebih murah ketimbang sewa kantor atau bikin gedung kantor. You get what you pay. Di saat biaya produksi terbesar adalah biaya operasional kantor (sewa ruangan, listrik, maintenance cost, dll) dan gaji pekerja, maka coworking space adalah sebuah jalan keluar bagi pengusaha pemula atau bahkan startup untuk menjalankan bisnis. Apalagi tarif yang dipatok untuk menyewa coworking space adalah per jam. Efektif dan efisien kan?

Nah, penjelasan Oges sebelumnya berbicara soal keunggulan coworking space, yaitu membuka peluang networking. Utamanya bagi pekerja individual yang sedang mencari tim atau rekan bisnis/kerja.
 
Bagaimana pula trennya?
Belum lama ini, tren terhadap sewa ruang kantor menurun di Jakarta. Berdasarkan hasil laporan Colliers International pada Januari tahun lalu menyebutkan adanya penurunan sebesar 4% di kawasan SCBD, Jakarta Pusat dan di luar kawasan SCBD, menurun hingga 5,8%. Kondisi ini diprediksi akan terus berlanjut hingga 2019, menurut konsultan properti tersebut.

Lalu beralih ke mana? Meski belum ada data resmi dari dalam negeri soal perkembangan bisnis coworking space, setidaknya laporan Coworkaholic tahun 2016 lalu patut dicermati.

Penelitian yang dilakukan sejak 2012 oleh media online seputar coworking space tersebut memproyeksikan adanya peningkatan jumlah coworking space di dunia dari tahun ke tahun.


Data lain dari Cushman Wakefield memperlihatkan, permintaan terhadap industri 'sewa-ruangan-murah-namun-membuka-peluang-kerja-berjaringan' (begitu saya menyebutnya) di Asia Tenggara meningkat 15% pada tahun 2017. Bisa jadi peminatnya adalah startup atau UMKM.

Nah, bagaimana di Jogja sendiri? 
Meski belum banyak orang tahu esensi dari coworking space, setidaknya sudah mulai bermunculan kafe di Jogja memanfaatkan peluang ini. Tajuk 'collaborative space' atau 'coworking space' tampak disematkan bersama logo dan nama kafe. Nah, tinggal edukasi dan promosinya dari si pemilik tempat.

Sampai di sini saya ingin membahas statement Oges. Dan bagi saya ini menarik. Karena kata collaborative dan coworking space akan menjadi percuma ketika si pengelola/pemilik tempat sekadar menyediakan sarana fisik. Bagi saya ini bukan sekadar bicara memanfaatkan ruangan idle secara bisnis melainkan semangat kolaborasi dan, seperti Oges katakan di awal tulisan ini: saling mengoneksikan kebutuhan orang.