Beberapa pekan terakhir ini, saya mengamati dengan serius, tapi tentunya tidak dengan tatapan tajam, para sobat Kopi Yuk! yang datang. Sebagian besar kini sudah menjadi pengunjung tetap.
Tentu saja, mayoritas adalah teman-teman semasa kuliah. Ada di kisaran usia, kira-kira, lima tahun lebih tua dan 5-6 tahun lebih muda dari saya. Sebagian kecil lainnya merupakan rekan dari teman saya sendiri.
Buat saya yang pernah berada kurang lebih lima tahun di bidang riset pasar, tentu ini merupakan wujud dari existing market. Suatu kondisi dimana pelanggan telah membeli secara berulang dari produk/jasa yang ditawarkan oleh perusahaan/bisnis tertentu.
Pada satu sisi, saya merasa bisnis ini aman. Karena sudah memiliki pengunjung tetap.
Namun di sisi lain saya patut waspada.
Mewaspadai Product Life Cycle
Kopi. Sama seperti komoditi lain, benda ini bisa dikatakan tetap dalam rupa dan isi yang sama. Bentuknya pun, sejak dahulu kala konsisten seperti biji, masuk dalam kategori buah, tidak berubah wujud sebagai gas apalagi zat gaib.
Kenapa industri kopi tetap eksis? Tidak lain berkat inovasi, eksplorasi, dan tentu saja marketing (kalau tidak mau dibilang sebagai ilusi marketing) yang tersistem, untuk melanggengkan, suka atau tidak, kemunculan dan kekuasaan institusi tertentu (perusahaan penyedia alat pembuat kopi, kafe, dll). Tentu saja, pada fase ini edukasi bagi pengonsumsinya seolah menjadi mantra: Kamu harus paham apa yang kamu konsumsi. Agar menimbulkan kesan 'konsumsi yang bertanggung jawab'. Namun ujungnya sama, melanggengkan kekuasaan institusi tertentu.
Ah ok, saya tidak ingin terlalu membahas lebih jauh paragraf sebelumnya. Apa yang saya maksud di sini adalah suatu waktu nanti kopi generasi ketiga ini akan berganti era. Dalam kurva product life cycle, barangkali third wave cofffee berada pada titik growth atau barangkali sedang berada di tahap maturity. Bila diibaratkan sebagai seorang pemuda/pemudi, dia sedang banyak gebetannya hehehe...
Namun hal ini perlu diwaspadai, karena sekelas Starbucks, yang dianggap sebagai pelopor second wave musti terseok-seok di lantai bursa awal tahun ini. Berdasarkan artikel Forbes There are Bigger Challenges Facing Starbucks, diduga hal ini disebabkan oleh adanya perubahan perilaku konsumen AS. Kebiasaan kongkow di luar rumah, mulai tergantikan. Warga AS lebih suka 'mendekam' di rumah, terlebih lagi saat ini sudah banyak alat kopi artisan (sebagai dampak dari third wave coffee juga) yang bisa dibeli dengan harga terjangkau.
Nah, itu dia kata kuncinya: perubahan perilaku konsumen.
Pada tahap product life cycle, tren penjualan menurun atau decline suatu produk, salah satu penyebabnya karena ada kejenuhan konsumen dan mereka beralih ke produk lain. Jalan untuk memperpanjang napas adalah melakukan inovasi.
Apa kaitannya dengan Kopi Yuk?
Contoh kasus di atas, jelas merupakan pembelajaran. Memang sih, belum terjadi saat ini untuk Kopi Yuk!. Tapi saya musti waspada. Maka, pekan ini saya sedang getol-getolnya mengadakan riset berkait dengan selera minum kopi di kalangan Generasi Z (kelahiran 1996-2010).
Saya merasa ekspansi pasar masih bisa terus dilakukan. Apalagi saya hanya menggaet sepersekian persen dan itu kecil sekali dari keseluruhan peminum kopi di Jogja. Tentu saya dan Wak harus siap bersaing dengan kedai, warkop, dan kafe lain yang menyajikan produk serupa.
Nah, seperti apa hasil riset saya? Nantikan ya.
No comments:
Post a Comment